Dan Bandung…

Aksara Laut
4 min readMay 6, 2020
© Asiila Kamilila — Bandung, 2017

Ketika akan meninggalkan suatu tempat, otak saya membangunkan hampir semua kenangan yang sebelumnya sempat tertidur. Dimulai dari hari pertama kuliah, saya ingat baju putih lengan panjang dan celana jeans biru tua yang saya kenakan. Saat sedang berjalan sendiri ke kampus untuk kelas pertama, saya ditemani oleh lagu dari Nirvana berjudul Smells Like Teen Spirit. Pagi pertama di kamar kosan, lagu Ephemera dari Air mengalun lembut, beradu dengan kicauan burung di luar jendela. Saya ingat parfum otomatis di kamar saya yang selama tiga setengah tahun hanya itu-itu saja wanginya. Perjalanan dari kosan menuju kampus seringkali diwarnai oleh pekatnya biru langit dan sejuknya tiupan angin, walaupun saat itu jam 12 siang dan matahari berdiri tegak di atas kepala. Ketika langit malam cerah, taburan bintang terhampar di langit Bandung. Lupakan sejenak gemerlap Ibukota, naik sedikit ke daerah dataran tinggi, cari warung sederhana yang menyediakan kopi panas, kemudian duduk dan berdialoglah dengan seseorang sambil sesekali menengok lautan bintang dan hamparan lampu kota. Berkeliling kota mencari kuliner tengah malam bersama teman-teman kuliah juga menjadi salah satu kenangan favorit saya. Sebuah lagu dari Payung Teduh yang berjudul Tidurlah seringkali turut menemani malam-malam insomnia saya di Bandung.

Salah satu kenangan yang paling berkesan adalah kamar kosan saya yang tidak pernah berubah sejak hari pertama hingga hari paling terakhir saya di Bandung. Sebuah tempat pelarian, tempat berlindung, tempat istirahat, tempat saya menangis tersedu-sedu, tempat saya belajar hingga lupa waktu namun juga menjadi tempat saya bermalas-malasan seharian penuh, suatu tempat dimana saya bisa dan nyaman menjadi diri saya sendiri.

Ketika akan beranjak meninggalkan suatu tempat, hal yang pertama kali kamu lakukan adalah mengemasi semua barang. Sulitnya, terkadang ada beberapa barang yang membuat kita berhenti sejenak untuk mengingat kenangan di baliknya. Saya menemukan dua buah pinecone di dalam botol kaca kecil di atas meja belajar kamar kos saya. Tidak mungkin saya lupa bahwa pinecone tersebut berjatuhan dari pohon-pohon di Plaza GSG kampus yang saya ambil di hari pertama masuk kuliah. Saya pun juga teringat hari-hari terakhir yang saya habiskan di kampus; belajar di kelas terakhir, kesulitan mengerjakan skripsi, datang ke acara kampus yang tidak pernah saya hadiri sebelumnya, mengalami apa yang dinyanyikan Chrisye dalam lagu Kisah Kasih di Sekolah, serta buku, pesta, cinta yang berhasil saya raih, dan ternyata keseimbangan dari ketiga hal tersebutlah yang membuat masa-masa kuliah saya menjadi salah satu periode hidup yang paling menyenangkan untuk dikenang.

Ketika melipat baju dan memasukannya satu per satu ke dalam koper, kadang teringat kapan saya memakai baju-baju tersebut. Dalam acara apa, pergi dengan siapa, dan kenangan apa yang terkandung di dalamnya. Proses mengemasi barang pun menjadi tidak semudah apa yang saya kira, karena ketika akan beranjak meninggalkan suatu tempat, kamu bukan hanya mengemasi barang, tetapi mengemasi juga perasaan untuk dibawa pergi ke tempat yang baru.

© Asiila Kamilia — Bandung, 2018

Ketika akan meninggalkan suatu tempat, bukan hanya perasaanmu yang akan mengalami perubahan. Otakmu pun mendadak menjadi sebuah kaset rusak yang terus memainkan kilasan balik secara acak. Inderamu menjadi lebih sensitif; mulai dari matamu yang melihat sesuatu lebih lama dan lebih dalam dari biasanya, karena kamu tak tahu kapan akan melihat hal itu lagi. Hidungmu menghafal wangi kamar yang kamu tiduri setiap hari karena kamu akan pindah ke kamar baru dengan wangi yang berbeda. Hingga kulitmu yang menikmati setiap detik hembusan angin sejuk di Bandung karena suasana ini tidak akan pernah ditemukan di Jakarta.

Tidak semua orang merasa baik-baik saja dengan adanya perpindahan, apapun bentuk perpindahan itu; yang sejatinya adalah pergantian dari satu hal ke hal lain. Saya termasuk orang yang lebih sering bersedih setiap mengalami perpindahan, termasuk kepergian saya dari Kota Bandung. Akan banyak sekali hal-hal yang saya rindukan dari rumahnya Dilan ini, seperti wisata kuliner yang tidak pernah habis, penyanyi jalanan yang terkadang menghibur, sejuknya udara sepanjang hari hingga hidup tanpa pendingin ruangan terdengar masuk akal, orang-orang yang menemani saya menciptakan kenangan, serta langit Bandung yang hobi menaburkan bintang.

Bagi Pidi Baiq, Bandung lebih dari masalah geografis semata, melainkan melibatkan perasaan yang bersamanya ketika sunyi. Bagi saya, Bandung ada bukan hanya di malam-malam sepi jam tiga pagi, tetapi juga menemani ketika saya sedang bahagia. Ikut tertawa lepas bersama teman-teman saya, turut tenggelam bersama saya dalam lautan tugas kuliah, melewati malam-malam sendu, menemani saya meringkuk di atas tempat tidur ketika sedang sakit, dan bersama saya di setiap detik saya jatuh cinta. Kota Bandung pun seperti bertransformasi menjadi seorang kawan bagi saya.

Buat saya, jika ada satu hal yang diajarkan dari kota ini adalah kesederhanaan. Karenanya jika teringat akan Bandung, saya akan ingat anginnya yang sejuk, tidak perduli ia berhembus di siang atau malam hari. akan teringat dengan langitnya yang bersih untuk melihat bintang atau birunya langit di siang hari, makanannya yang enak tapi tetap bersahabat dengan kantong, dan teringat dengan perasaan bahagia yang sederhana selama membuat kenangan di sudut-sudut kecil kota ini.

Jadi, benar apa yang mereka bilang… “you get a strange feeling when you’re about to leave a place, like you’ll not only miss the people you love, but you’ll miss the person you are now at this time and this place, because you’ll never be this way ever again.”

© Asiila Kamilia — Bandung, 2017

terima kasih Bandung, saya pamit.

--

--